Sunday, May 3, 2020

Hobi Musiman: Bercocok Tanam di Kala Bosan


Memasuki hari ke-40 #diRumahAja, (tapi baru update blog skrg) sudah berbagai macam hal rasanya yang dilakukan untuk menghabiskan waktu; menata ulang kamar, merapikan lemari, membuat craft-craft ringan, menonton serial atau drama Korea, membaca buku, hingga mencoba resep-resep baru masakan yang belum pernah dibuat. 

Beberapa hari belakangan ini lagi senang2nya menonton video-video di YouTube tentang-bercocok tanam. Karena di rumah ada lahan sedikit, sedikit sekali, bener-bener kecil, jadi pengen nyoba nanam beberapa tanaman yang berguna untuk kebutuhan dapur sehari-hari; cabe rawit, tomat, bawang merah, bawang putih, kunyit dan jahe. Selain itu juga lagi nyoba mbibit nenas dan alpukat karena kebetulan aja abis bikin setup nenas jadi bonggol mahkotanya iseng coba dibibitin. 


Usia 5 hari, akarnya udah mulai tumbuh

Usia 5 hari juga, bijinya mulai pecah

Tapi sayang sekali mimpi untuk punya apotek hidup ini sepertinya akan pupus di tengah jalan. Banyak bibit yang baru mau berkembang patah atau rusak karena diinjak-injak kucing. Di rumah memang banyak kucing sih, ada 5 ekor, dan pada suka main di halaman. Jadi semua ditabrak-tabrakin, semua diinjak-injakin. Ditaro di tempat yang agak tinggian juga mereka bisa manjat jadi polybag nya pada jatuh. Cuma pohon cengek yang bertahan hidup dan berbuah. Ditanamnya juga udah lebih dulu sih dibanding yang lain.

Bawang merah, usia 2 minggu, daunnya patah2 karena diinjak-injak kucing #cry
 
Tomat, sekarang udah patah juga, lagi-lagi karena diinjak kucing

Cengek, kalo ini udah agak lama sih ditanamnya..

Cengek yang udah merah

Cengek yang masih ijo tapi udah gak sabar mau panen

Masih ada beberapa bibit cabe, tomat, bawang merah dan jahe yang bertahan sih, mudah-mudahan aja bisa bertahan hidup dan tumbuh besar. Doain ya.

Wednesday, November 6, 2019

Penonton yang Menyebalkan di Dalam Bioskop

Sejak jaman sekolah dulu, saya selalu mendengar tentang pengalaman teman-teman saya yang menemukan tingkah-tingkah ajaib para penonton film layar lebar yang mereka temukan. Di usia-usia pubertas seperti jaman SMA dulu, pasti yang paling menarik itu kalo ada teman yang menemukan penonton yang bermesraan di ruang publik tersebut; misalnya yang gelendotan, sayang-sayangan, hingga berciuman. Pasti jadi topik yang heboh dibicarakan di kelas keesokan harinya. Kalo sekarang mungkin gak tunggu besoknya, langsung di group WhatsApp kelas saat itu juga, pake live report. :))) Sayangnya, hingga saat ini saya sendiri belum pernah menangkap basah penonton yang melakukan hal demikian. Padahal kan pengen ya. #Bercanda :))

Tetapi, ada banyak hal unik maupun menyebalkan lainnya yang pernah saya alami di dalam bioskop. Kenapa unik? Karena saya masih gak habis pikir kok bisa-bisanya ada orang yang melakukan hal semacam itu dan gak merasa bersalah telah mengganggu penonton lain.

Beberapa tipe penonton menyebalkan tersebut antara lain:

1. Penonton yang membawa bayi

Hal ini saya alami ketika menonton Avengers: End Game. Bayi yang dibawa itu beneran yang masih bayi banget yang digendong ibunya di dalam bioskop menggunakan jarik. Tau jarik gak? Kain batik panjang yang biasa dipake ibu-ibu buat nidurin bayi itu.
Pasangan suami istri ini duduk berjarak beberapa seat dari saya di row yang sama. Awalnya saya gak ngeh dengan keberadaan mereka, namun semua berubah ketika tangisan si bayi menyerang. Di saat itulah mungkin kita sestudio ngeh kalo di dalam ada bayi merah yang diajak orangtuanya nonton. Mungkin gak merah juga sih, tapi setuju kan kalo kita bisa bedain yang mana suara tangis bayi dan mana suara tangis balita? Suara tangis nya beneran yang nangis banget, mungkin kaget dengan audio di dalam bioskop yang gak ramah terhadap kuping bayi. Dan apa yang dilakukan si orang tua? Ibuknya berdiri dong di tempat duduknya sambil menggendong dan ngepuk-pukin si bayi di dalam jarik. Sungguh saya salut dengan penonton yang ada di belakang mereka yang bisa menahan diri untuk tidak menegur.


2. Penonton yang membawa balita

Nah, yang ini saya yakin pasti banyak yang pernah melihat penonton yang membawa anak-anak untuk menonton film dengan rate BUKAN Semua Umur; bisa jadi film dengan rate 13+, 17+, bahkan dewasa. Terakhir nonton saya melihat orangtua yang membawa anaknya nonton film Joker dengan dalih ini kan film superhero, film anak-anak, padahal informasi sudah berserakan dimana-mana yang menyatakan bahwa film ini penuh dengan violence dan disturbing behavior. Sangat disayangkan juga pihak bioskop yang tidak mengambil tindakan tegas melarang penonton yang tidak memenuhi standar usia untuk menonton film dengan rate-rate tertentu.

Pernah suatu kali, saya sedang menonton Fast Furious 7. Baru juga film nya mulai, konsentrasi saya sudah terganggu karena tiba-tiba mendengar suara lagu anak-anak. Selidik punya selidik, ternyata yang duduk di atas saya adalah sepasang suami istri dengan seorang balita. Si anak diasup pake iPad supaya bisa tenang di studio. Sayangnya konsiderasi orang tuanya ke penonton lain kurang, si anak tidak di-provide dengan headphone sehingga bunyi nursery rhymes yang diputar di iPad si anak terdengar hingga ke kuping penonton lain. Kayanya cuma saya yang notice juga sih, soalnya gak ada penonton lain yang keliatannya terganggu. Mungkin karena saya duduk persis di bawah si anak (kami duduk di pojok sekali dan si anak di sudut pojok paling atas), atau mungkin juga karena kuping saya yang terlalu sensitif dan familiar dengan lagu anak-anak.

3. Penonton yang selfie

Yang ini agak susah diterima akal sehat. Kok bisa-bisanya ada orang foto-foto pake flash di dalam bioskop saat film sedang diputar. Mbok ya itu akal dimanfaatkan lho, Mbak. Sungguh saya speechless sekali waktu kejadian ini. Ntah kaget karena flash kamera apa gimana. Memang sih situasi bioskop agak lengang waktu itu, tapi tetap aja gak menjustifikasi tindakan selfie ber-flash di dalam bioskop gelap itu dibenarkan. Yang ini saya tegur btw.


Tiga kejadian ini sih yang paling ganggu dan meninggalkan kesan mendalam di dalam bioskop.
Bagaimana dengan kalian? Ada kejadian mengesankan gak waktu lagi nonton di bioskop?



Wednesday, November 15, 2017

Movie Review: Hindi Medium (2017) #SpoilerAlert


Raj Batra adalah seorang pengusaha dan pemilik toko fashion di daerah Chandni Chowk, New Delhi. Ia memiliki seorang istri, Mitha Batra, dan anak perempuan bernama Pia. Mitha, layaknya ibu-ibu pada umumnya, selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. As too much as it sounds, dia sangat berlebihan dalam memproteksi Pia. Lotion anti nyamuk dan SPF harus diaplikasikan sebelum bermain di luar, mainan di playground harus dilap dengan cairan pembersih sebelum Pia menyentuhnya, ini semua adalah gambaran betapa Mitha sangat sangat menjaga Pia dan menginginkan yang terbaik untuk sang anak.

Masalah muncul ketika Mitha membuat list sekolah-sekolah terbaik yang diincarnya untuk Pia. Sekolah tersebut harus lah termasuk TOP 5 school di India, berbahasa pengantar Inggris, dengan lingkungan yang kondusif dan kemungkinan Pia untuk berteman dengan anak-anak berkelas lainnya, anak-anak dari para politikus dan industrial tycoon, demikian ambisi Mitha. Sekolah yang juga telah menghasilkan sederetan orang-orang hebat, terkenal dan berpengaruh dalam daftar alumninya.


Hal ini semakin terpicu karena pada saat sedang bermain di playground perumahan rumah mereka yang baru, anak-anak yang lain tidak ada yang mau bermain dengan Pia dengan alasan:

"She speaks in Hindi."
"Why don't you speak in Hindi, too?"
"Mom doesn't let me."

Mitha dan Raj tidak tumbuh di keluarga dari golongan berada.  Raj adalah anak seorang penjahit yang tinggal di wilayah pinggiran New Delhi, demikian pula Mitha yang tinggal di lingkungan yang sama. Seiring dengan bertumbuhnya ekonomi keluarga mereka dan usaha Raj yang semakin sukses, sekarang mereka sudah termasuk ke golongan orang kaya walau beberapa hal tidak bisa diubah. Raj tetap pada seleranya yang menyukai lagu-lagu trot (yang menurut Mitha sangat norak dan kampungan) dan tidak bisa berbahasa Inggris, suatu keharusan jika ingin diakui sebagai kaum kelas atas.

Untuk membantu Mitha supaya Pia bisa diterima di sekolah-sekolah top tersebut, salah seorang teman menyarankan Mitha untuk bertemu dengan seorang konsultan pendidikan professional.

Program Consultant: “Jam 9 Basic English, jam 2 Math, jam 4 swimming lesson.”
Mitha: “Full? Lalu kapan jam makan dan tidur siang nya?”
PC: *menatap nista* Kalian tau? Para orangtua biasanya mem-booking saya saat mereka masih dalam trisemester pertama. Kalian sudah sangat ketinggalan begini masih memikirkan jam makan dan tidur siang?”

Singkat cerita, setelah mengikuti sesi  dan saran-saran dari si Program Consultant, usaha Mitha tetaplah sia-sia. Pia tidak diterima di satupun dari 5 target sekolah yang diincarnya. Mitha sangat kecewa dan menumpahkan semua kekesalannya pada sang suami. Di saat mereka sedang bertengkar, datanglah salah seorang karyawan Raj di toko membawa laddoo (manisan) untuk berterima kasih karena berkat Raj, anaknya bisa diterima di Prakriti School, salah satu sekolah top yang diincar Mitha.

“Waktu Sir memintaku untuk mengambil form pendaftaran untuk Pia Baby, aku melihat satu barisan berbeda yang dikhususkan untuk anak-anak kurang mampu. Maka aku mengantri dan mengambil satu form untuk anakku.”

Dan kemudian Raj dan Mitha pun berniat melakukan hal yang sama, memalsukan dokumen dan  mendaftar melalui jalur khusus untuk orang-orang kurang mampu. Bahkan ketika diberitakan peserta yang melamar untuk jalur khusus ini akan dikunjungi satu per satu karena maraknya kabar banyak orang kaya yang menyerobot jatah orang tidak mampu (persis yang sedang mereka lakukan), Raj dan Mitha pindah ke area kumuh untuk mengelabui petugas survey sekolah sampai anak mereka diterima.




Film ini mengingatkan saya bahwa Indonesia dan India memiliki banyak kesamaan. Betapa Bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa kaum terpelajar dan orang-orang kelas atas, orang tua yang mengincar sekolah-sekolah internasional sebagai tempat mendidik anak mereka nanti. Tidak ada yang salah. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak mereka, kadang sampai rela menempuh cara apapun untuk mewujudkan hal tersebut.

Dengan sentilan-sentilan ringan terhadap isu parenting dan dunia pendidikan, film ini memberi gambaran bahwa tidak peduli beda kasta ekonomi ataupun edukasi, yang paling penting itu adalah hati. Kalo kalian sudah nonton film Hindi Medium, pasti mengerti apa yang saya maksud di sini.


Genre: drama, komedi
Run Time: 132 min
Rate: 8/10

Friday, November 3, 2017

Semua Anak itu Pintar

Pernah gak terpikir oleh kalian kenapa Matematika itu dianggap pelajaran paling sulit? Kenapa anak-anak yang jago Matematika itu dianggap anak-anak pintar, sedangkan yang gak jago Matematika dianggap sebaliknya?

Saya tumbuh besar di  lingkungan pendidikan yang mendewakan pelajaran matematika dan IPA. Matematika itu berada di strata tertinggi dalam dunia pendidikan / mata pelajaran. Diikuti oleh pelajaran IPA; Fisika, Kimia dan Biologi, barulah bahasa asing, IPS, olahraga dan kesenian menjadi pion-pionnya. Begitu yang tertanam di benak saya sejak kecil hingga lulus kuliah.

Hingga akhirnya setelah bekerja saya familiar dengan teori Multiple Intelligence atau Kecerdasan Ganda. Saya bekerja di lingkungan pendidikan yang menerapkan teori ini, bahwa tidak ada anak yang bodoh.

Ada anak yang jago Matematika. Ada anak yang mudah berbahasa. Ada anak yang berimajinasi tinggi. Ada yang jago melukis, mendesain, atau music prodigy. Ada yang sangat akrab dengan alam. Atau ada yang juga berbadan lentur dan jago olahraga. Semua anak itu pintar, dengan bakat dan minat yang berbeda-beda.


source from Google


Berikut 8 jenis kecerdasan yang dimiliki oleh setiap anak dalam porsi yang masing-masing:
  • Kecerdasan kinestetik ; cakap akan kegiatan fisik
  • Kecerdasan linguistik ; cakap berbahasa
  • Kecerdasan logikal ; mudah memahami angka
  • Kecerdasan interpersonal ; mudah berinteraksi dengan sesama
  • Kecerdasan interpersonal ; sangat fokus dan memahami diri sendiri 
  • Kecerdasan musikal ; sensitif terhadap irama dan nada
  • Kecerdasan spasial ; cakap menggambarkan imajinasi dalam bentuk 3 dimensi dan grafis
  • Kecerdasan natural ; sensitif dan menyukai alam

Di sini saya tidak akan membahas mengenai penerapan teori ini di kehidupan nyata (mungkin lain kali di update buat postingan terpisah), saya hanya ingin sekedar mengingatkan teman-teman, terutama para guru dan orang tua, percayalah, bahwa setiap anak itu pintar, semua anak itu berbeda, mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan mereka butuh pendekatan dan support yang tepat untuk mengoptimalkan kemampuan diri mereka.

Cheers.



Friday, September 29, 2017

The World of Ghibli Jakarta

Sudah sejak lama saya menyukai karya-karya keluaran Studio Ghibli, terutama Totoro. Jadi begitu mendengar bahwa tahun ini mereka akan mengadakan exhibition besar-besaran di Indonesia, I was ecstatic!! Rangkaian yang diberi tajuk The World of Ghibli Jakarta ini dimulai dengan penayangan film-film Ghibli di bioskop-bioskop hampir seluruh Indonesia mulai April lalu (Spirited Away, My Neighbor Totoro, Ponyo, Princess Mononoke dan Howl’s Moving Castle), diikuti dengan exhibition besar-besaran yang diadakan selama 39 hari di ballroom Hotel The Ritz-Carlton Pacific Place Jakarta di tanggal 10 Agustus hingga 17 September. Euforia nya benar-benar kerasa!

Berkat The World of Ghibli Jakarta ini, saya akhirnya berkesempatan untuk menonton beberapa film Ghibli di bioskop. Biasanya kan nonton di layar kecil, di PC atau TV, kali ini bakal nonton di layar lebar! Pertama kali menonton My Neighbor Totoro di layar besar saya benar-benar terperangah. Dunia Ghibli yang selama ini hanya saya lihat di layar 14 inch tiba-tiba berasa begitu nyata dan memenuhi indra penglihatan dan pendengaran. It felt so real. Saking merinding dan happy nya, sampe hampir nangis. Well, kayanya nangis dikit sih.

Untuk exhibitionnya sendiri, saya janjian dengan Kenny dan beberapa orang teman untuk pergi ke sana. Tanggal yang kami sepakati 6 September,  H+27  sejak exhibitionnya pertama kali dibuka. Tapi belakangan kami bersyukur memilih  datang belakangan karena di awal-awal exhibition ternyata masih banyak instalasi karakter  yang belum selesai. Dikasi kompensasi untuk datang satu kali lagi sih, but it wouldn’t be that easy buat yang bekerja dan tinggal di luar kota.

Hari yang dinanti-nanti pun tiba, saya sudah gak sabar seharian buat segera ke venue acara. Begitu memasuki lobi Pacific Place saja euforianya udah kental aroma Ghibli. Ada balon raksasa Totoro yang sangat besar melayang di udara. Ada tatanan logo The World of Ghibli juga di sana. Baru sampe sana aja udah deg-degan parah.



The Huge Flying Totoro

Sesuai dengan tema acaranya, The World of Ghibli, the moment I stepped into the ballroom of Hotel Ritz-Carlton, benar-benar berasa kaya melewati portal menuju dunia lain, portal menuju dunia Ghibli! I was at awe!

Ruangan pameran dibagi menjadi 3 ruangan. Di ruangan pertama, pengunjung bisa melihat dan membaca sejarah Studio Ghibli; mulai dari bagaimana terbentuknya Studio Ghibli ini, siapa saja pilar-pilar utama dibalik Ghibli, apa saja karya-karya awal mereka, dimana titik balik bangunnya studio ini, kenapa logo utama Studio Ghibli adalah Totoro,dll. Selain itu di ruangan ini juga dipamerkan poster-poster asli dari film-film yang mereka keluarkan dan goresan-goresan awal dari setiap filmnya, pembangunan karakter utama hingga jadi yang seperti sekarang, juga foto-foto dari meja kerja sang maestro, Hayao Miyazaki-sensei. Baru sampe di ruangan ini saja saya sudah sangat sangat merinding. Terharu banget bisa tau detail sejarah terbentuknya Ghibli dan juga melihat bagaimana usaha mereka supaya studio ini bisa berdiri. Juga dengan moto mereka yang tidak mau terbawa arus mengikuti demand/selera penonton hanya demi mengejar profit. Di ruangan ini pengunjung dilarang menyentuh dan mengambil foto, jadi gak ada foto-foto ya.

Ruangan kedua adalah screening room. Jadi di ruangan ini diputar trailer/cuplikan-cuplikan singkat dari film-film Ghibli yang waktu itu juga ditayangkan di CGV Pacific Place. Saya cuma sebentar di ruangan ini, nonton trailer Princess Kaguya karena saya belum nonton filmnya.

Ruangan ketiga, ini yang paling ditunggu-tunggu, ruangan instalasi karakter! Konon katanya kalo di Museum Ghibli yang di Jepang dilarang mengambil foto, namun karena pihak penyelenggara sangat mafhum dengan tabiat pengunjung Indonesia yang sangat suka berfoto, mereka mengajukan permohonan ke pihak Ghibli Jepang supaya diperbolehkan mengambil foto di ruangan ini. Terima kasih penyelenggara Indonesia, berkat kalian maka foto-foto ini ada!


The Kusakabes' House

The Nekobasu

Tonari no Totoro

Gutiokipanja from Kiki's Delivery Service

Kenny's Delivery Service

Howl's Moving Castle


852235229_150695
Tampak samping. Tingginya 8,5m lho!

Robot from Laputa the Flying Castle

Instalasi-instalasi karakter yang ada di sini keren-keren banget! Mulai dari film favorite saya, My Neighbor Tororo, yang paling banyak dibuat. Ada Totoro dan Nekobus ukuran asli yang bisa dipeluk, ada rumah keluarga Kusakabe, ruang kerja Kusakabe san yang sengaja ditata  berantakan sesuai dengan di film. Untuk buku-buku nya saja sampe dibawa dari Jepang lho. Ada teras samping nya yang juga kece banget buat foto-foto. Ada sepeda ontel Kusakabe san. Juga ada susuwatari yang bersembunyi di sudut-sudut rumah dan chibi Totoro yang bersembunyi di bawah rumah.

Instalasi favorite saya di sini adalah Howl's Moving Castle. Detailnya luar biasa keren dengan mata dan lidah yang bisa bergerak. Instalasi ini dibuat di Indonesia oleh pengrajin lokal lho. Dan katanya sakin detailnya, setelah exhibition selesai, akan dibawa ke Jepang untuk dipajang di Museum Ghibli di sana. Sugoi desu ne!

Masih banyak karakter-karakter lain yang semuanya keren dan ingin saya jabarkan detailnya, namun sekarang belum sempat. Mungkin nanti akan dibuat satu postingan tambahan atau postingan ini saja yang diedit dan ditambah jadi makin panjang? Hahaha.

Saya bersyukur sekali exhibition ini diadakan dan saya berkesempatan buat berkunjung. Ini akan jadi salah satu momen tak terlupakan yang akan selalu saya ingat. :')

Friday, May 5, 2017

Lunch Break at Japanese School

Saya lagi suka nonton youtube channel yang bercerita tentang kehidupan di Jepang. Mostly yang bikin video-video model begini itu orang-orang asing yang hidup di Jepang, atau yang bukan native Jepang, jadi mereka tau gimana perbandingan hidup di Jepang dan di luar Jepang.

So, there is this Youtube channel yang membahas tentang bagaimana jam makan siang anak-anak primary school di Jepang, yang menurut saya sistemnya sangat edukatif dan layak dicontoh bagi sekolah-sekolah lain di luar Jepang, terutama Indonesia.

Video ini berawal dengan disorotnya salah seorang siswi SD di Jepang saat mau berangkat sekolah.  Si anak diminta untuk menunjukkan tas sekolah dan isi buntelan yang dibawanya. Ada taplak, sumpit, sapu tangan, sikat gigi dan cangkir untuk kumur-kumur.

Scene cut to: kitchen school. Ada 5 orang pekerja yang bertugas untuk mempersiapkan makan siang bagi 682 anak di sekolah tersebut. Jadi saya berasumsi kalo di sekolah tersebut tidak ada kantin atau kafetaria. Kelima pekerja ini memakai pakaian yang pantas, apron, masker dan penutup rambut, supaya kebersihan makanan bagi anak-anak tetap terjaga. Mereka memasak berbagai jenis makanan; mulai dari mashed potato/nasi, lauk, dan sayur untuk anak-anak. Setelah selesai, makanan akan dimasukkan ke dalam tray/container dan dipisah ke dalam troli masing-masing kelas.

Kembali ke anak-anak di kelas, begitu bel jam makan siang berbunyi, para petugas piket makan siang bergegas. Anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok yang piket setiap harinya pada saat jam makan siang. Ada yang bertugas membagikan susu, membagikan roti, ada yang bertugas menyendokkan nasi, sayur dan lauk untuk teman-temannya. Sebelum mulai piket mereka akan mengenakan seragam wajib mereka; apron, masker dan penutup rambut. Kemudian ketua kelompok akan menanyakan apakah semua petugas sehat, apakah ada yang sedang diare, batuk atau flu, apakah semuanya sudah mengenakan penutup pakaian yang pantas. Harus dipastikan para petugas sehat dan tertutup sehingga tidak akan menulari anak-anak lainnya. Setelah dipastikan semuanya dalam kondisi prima, mereka akan mensterilkan tangan mereka dengan menggunakan hand sanitizer dan kemudian pergi ke dapur untuk menjemput jatah makan siang mereka.

Begitu sampai di dapur mereka akan berterima kasih kepada para petugas dapur yang telah mempersiapkan makan siang untuk mereka  sebelum mengambil troli makanan. Satu kebiasaan yang bagus dimana anak-anak diajarkan untuk berterima kasih dan menghargai orang lain.


Petugas Makan Siang
In charge to serve lunch

Petugas susu
In charge to serve milk

Di kelas, para petugas akan berjejer dan anak-anak yang lain akan antri untuk mengambil makan siang masing-masing. Yang bertanggung jawab untuk roti dan susu akan membagikan susu dan roti ke masing-masing meja temannya. Yang bertanggung jawab membagikan mashed potato, sayur dan lauk akan menyendokkan makanan tersebut untuk teman-temannya.  Setelah semua anak mendapatkan makanan masing-masing, guru wali kelas akan menginfokan bahan makanan mereka hari itu didapat dari mana.

“Hari ini kita makan siang dari kentang yang ditanam dan dipanen oleh anak kelas 6. Sedangkan ikan yang akan kita makan, dibeli segar dari pasar tradisional lokal. Minggu depan kita juga akan menanam kentang yang akan dipanen dan bisa kita makan di bulan Juli nanti.”






Mereka tau darimana bahan makanan tersebut didapat, waktu yang dibutuhkan untuk menanam atau usaha yang dibutuhkan untuk mendapatkan makanan tersebut tidak lah mudah. Dari sini anak-anak mendapat pelajaran untuk menghargai proses dan usaha. Juga untuk bersyukur dan tidak membuang-buang makanan.

School Lunch
This looks tasty!

Sampai di sini sudah selesai? Belum. Setelah selesai makan, anak-anak akan membuka kotak susu kosong mereka dan menumpuknya di satu tempat. Siswa piket yang bertanggung jawab untuk susu akan mengambil dan membilas kotak-kotak susu itu untuk kemudian dikeringkan dan keesokan harinya dimasukkan ke tempat recycle. Anak anak lainnya akan meletakkan piring dan mangkok makan siang mereka kembali ke troli dalam keadaan rapi sehingga petugas piket bisa dengan mudah mengembalikan mereka ke dapur. Setelah itu mereka menggosok gigi bersama dan membereskan meja mereka kembali.

Lagi-lagi satu proses yang simple namun berjuta manfaat bagi anak-anak. Saya yakin kalo baik anak-anak maupun orang dewasa di Indonesia masih sangat awam dengan yang namanya reuse, reduce dan recycle. Membedakan tempat sampah organik dan non organik saja sejak saya masih SD sampe sekarang masih belum terealisasikan sampe sekarang di lingkungan kita.  Namun anak-anak di Jepang, mereka sudah berkutat dengan hal-hal semacam ini sehari-hari. Menjaga kebersihan lingkungan, kebersihan tubuh, mendaur ulang sampah, sudah jadi hal yang awam bagi mereka. Kenapa? Karena sudah diperkenalkan dan dibiasakan sejak dini.

Dan hal ini rutin mereka lakukan setiap hari.

Video berdurasi 8 menit ini sukses membuat saya terperangah dan terharu. As I quote from the principal’s statement in the beginning of the video, “The 45 minutes lunch period is considered as an educational period, same as math or reading.” Sama pentingnya dengan pelajaran matematika dan membaca. Pernyataan yang singkat tapi sangat mengena.

Dari sini, banyak hal yang saya pelajari. Anak-anak yang diajarkan konsisten sejak kecil. Mereka diberi tanggung jawab dan kepercayaan untuk melakukan sesuatu dan melayani satu sama lain. Mereka belajar untuk menghargai satu sama lain. Mereka belajar untuk menghargai setiap tetes usaha. Mereka belajar untuk menghargai setiap makanan yang mereka terima. Sesuatu yang sangat jarang saya temui di lingkungan saya sendiri.

Friday, February 20, 2015

[EF] #7 The Picture I Choose to Share



I see happiness in their faces. I see freedom.
Look at them smiling. That is priceless.
Sweet, like a flower starting to bloom.
Look at that the friendship they are starting to build.
Holding hands each other, then laughing over anything random.
Spreading out happiness.

This is not a poetry. This is not a poem.
I just find it simple and hard at the same time to describe the picture.
Still, I choose it to share.



This photo was taken in Pekanbaru, 23rd of December 2013