Orang yang paling menderita di negeri ini adalah orang yang tepat waktu. Demikian yang gue percaya. Tau kenapa? Karena keakraban orang Indonesia dengan satu istilah yang bernama "jam karet". Ntah sejak kapan istilah jam karet ini membudaya di Indonesia, seingat gue sejauh gue bisa mengingat hal ini sudah menjadi alasan lumrah bagi orang-orang yang tidak bisa menghargai waktu. Ya. Demikian gue mendeskripsikan para penganut jam karet. Orang-orang yang tidak bisa menghargai waktu.
Di Indonesia, jam karet ini hal yang sangat biasa. Bisa terjadi kapan saja. Di mana saja. Mau meeting. Lelet. Mau kondangan. Lelet. Pembukaan suatu acara. Tidak jarang molor juga. Bahkan janjian sama teman mau pergi bareng aja gak jarang dihiasi pertengkaran dulu karena salah satu pihak yang seenaknya membuat pihak lain menunggu. Pengalaman pribadi.
Padahal katanya waktu adalah uang kan. Time is money. Doesn't mean that u can sell ur time to gain money, no no, bukan itu maksudnya. Tapi seandainya bisa dijual pun, memangnya ada orang yang mau menjual waktu nya demi uang? Gak tau sih ya. Kali aja kepepet. #ngawur
Bahkan orang asing yang tinggal di Indo aja udah akrab lho sama istilah ini. Misalnya Mr. Fery, tutor di Preparation Class for ISG. Di setiap kelas nya pasti aja ada siswa yang terlambat, gak kira-kira pula telatnya sampe sejam lebih. Dia kesel dong, tapi cuma bisa senyum-senyum kecut sambil bilang "jam karet". Yes, he knows istilah jam karet!! Dan ntah dia gak yakin orang Indo memang bakal susah banget buat tepat waktu atau gimana, akhirnya dia berlakuin peraturan toleransi keterlambatan, boleh masuk kelas kalo terlambat kurang dari 30 menit. Iya, telat 30 menit masih ditolerir. Kalo lebih dari 30 menit, tidak diperkenankan masuk ke kelas. Menurut gue mah gak usah kasi masuk aja sekalian. Iya nggak sih?
Sama ceritanya dengan Sato Sensei, Sensei di Tomodachi (Kursus Bahasa Jepang). Setiap hari jam kedatangan setiap siswanya itu dicatet coba. Berapa menit lebih awal datangnya, berapa menit terlambat datangnya, semua dicatat. Gak tau buat apa, mungkin buat catatan pribadinya, tapi sama dengan Mr. Fery, toleransi keterlambatan masih diberlakukan. Maksimal 30 menit.
Jadi intinya itu, menurut pendapat pribadi gue tapi ini lho ya, budaya jam karet itu sudah melekat terlalu kuat di pikiran orang Indonesia. Sudah berakar. Akarnya akar tunggang yang gede pula jadi susah buat nyabutnya. Mind set kita itu "Ah, buat apa gue datang tepat waktu, toh yang lain ntar telat juga. Daripada gue yang nunggu. Mending sama-sama telat." Begitu yang sudah tertanam di pikiran mereka. Sedangkan bagi orang-orang bermental perubahan, ya derita lo aja sono, siapa suruh sok-sokan buat on time.